Hijrah #5: Masih belum bisa menerima kenyataan [4/4]
Sebelumnya saya mau minta maaf bahwa pada Hijrah #5, bagian ke-4 keluar duluan daripada bagian ke-3 nya. Hal ini karena sebagian besar bagian ke-3 baru bisa ditulis ketika Edisi English Proficiency Test selesai. Bagian ke-3 nanti akan bertemakan 'perjalanan pasca kampus (nyari kerja, beasiswa, kampus, dll) hingga akhirnya memilih ambil EMINE'.
Untuk saat ini saya akan fokus mengejar tulisan terkait persiapan keberangkatan, 1 minggu pertama di Stockholm, dan 1 bulan pertama di Stockholm. Setelah tulisan itu selesai, maka tulisan ini akan diperbaharui lagi ^^
Karena lagi ngejar target tulisan, jadi ini dikebut ya. There is a high probability that tulisan ini akan di perbaiki minggu depan :)
Menerima kenyataan...
So lets begin...
Pada bagian ini saya akan menuliskan bagaimana Arief belum mampu move on dan menerima kenyataan akan apa-apa yang telah nikmat dan ujian yang telah ia terima.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pada saat Desember hingga Februari merupakan waktu-waktu yang sangat intens yang bahkan buat nonton youtube sebentar aja merasa dosa banget-banget-banget.
Pada waktu ini, saya mendaftar di berbagai tempat (yang akan dibahas di bagian 3 terkait prosesnya). Dari berbagai tempat itu, Alhamdulillah mendapat follow up di Prysmian International Graduate Program, diterima di European's Master in Nuclear Energy (double degree, EIT - InnoEnergy), Chinese Government Scholarship (Tsinghua & Harbin Engineering University), dan Nuclear Energy Engineering - KTH Royal Institute of Technology (2 years master program).
It seems so great, isn't it?
Mungkin iya mungkin tidak.
Jadi setelah padatnya agenda selain persiapan lanjut studi (komunitas, project, dll), saya memulai hari-hari dengan mode back to work. Dapat dikatakan ya seperti masa-masa SBMPTN dulu (meski dulu jadinya ga sbmptn). Pada masa ini, dapat dikatakan tak ada yang namanya internet, youtube, atau bahkan hal-hal lainnya. Belajar - tidur - ibadah. Kalaupun ada waktu kosong, paling hanya tidur.
But wait, this is not about it.
Jadi, setelah semua masa-masa perjuangan (yang akan dijelaskan detail pada bagian 3), bulan Januari hingga Februari saya secara perlahan mendapatkan notifikasi terkait pendaftaran itu. Semuanya diawali dari Prysmian International Graduate Program (track Nuclear Engineering) di awal Januari, disusul pada bulan Februari CGS di siang hari dan InnoEnergy pada sore di hari yang sama. Kemudian, beberapa saat kemudian diumumkan juga kalo keterima di 2 years master program di Swedia nya.
Masih teringat saat itu, ketika saya mendapat email notifikasi dari InnoEnergy dan CGS pada tanggal 20 Februari 2018. Sore itu, berbagai pesan dan email masuk. Dari pesan WhatsApp yang tau-tau saya dimasukin ke grup Awardee CGS yang saling mengucapkan selamat, beberapa senior awardee CGS juga melalui japri mengucapkan selamat, beberapa saat kemudian ada senior juga menghubungi melalui email untuk memberikan selamat terkait double degree programnya di InnoEnergy. Saat itu, saya justru 'belum sempat bersyukur'.
Respons yang saya lakukan hari itu adalah langsung mengabari beberapa pihak yang sangat-sangat-sangat-sangat-...-sangat (bayangkan saking sangatnya, sampe banyak banget pake kata 'sangat'nya) berjasa untuk mencapai tahapan ini (Dosen pembimbing, Dosen, Pembina komunitas, dan beberapa pihak lainnya). Setelah itu.... Senjapun mulai menutup hari, sejujurnya... saya merasa hampa hari itu. Saya masih belum bisa menerima kenyataan atas berbagai macam hal yang secara hampir bersamaan hadir.
Respons yang saya lakukan hari itu adalah langsung mengabari beberapa pihak yang sangat-sangat-sangat-sangat-...-sangat (bayangkan saking sangatnya, sampe banyak banget pake kata 'sangat'nya) berjasa untuk mencapai tahapan ini (Dosen pembimbing, Dosen, Pembina komunitas, dan beberapa pihak lainnya). Setelah itu.... Senjapun mulai menutup hari, sejujurnya... saya merasa hampa hari itu. Saya masih belum bisa menerima kenyataan atas berbagai macam hal yang secara hampir bersamaan hadir.
Dahulu sebelum disibukkan dengan persiapan ini, sudah berkelana di berbagai seminar, workshop, edu expo, sharing, blog, tumblr, dan berbagai sosmed awardee. Saya melihat bagaimana perjuangan mereka yang sangat-sangat-sangat inspiratif, penuh pengorbanan dari waktu, uang, tenaga, emosi, pikiran, dan lain hal. Ada beberapa yang bahkan harus gagal hingga 10 kali tes beasiswa baru diterima. Sebagiannya, bahkan harus melakukan persiapan 2 hingga 3 tahun untuk mendapatkan beasiswa. Mereka menunjukan bagaimana usaha yang sangat butuh perjuangan untuk mencapai tahapan ini.
Sayangnya, saya tidak diberi kesempatan untuk menikmati proses ini...
Sayangnya, saya tidak diberi kesempatan untuk menikmati proses ini...
Dapat dikatakan...
Semua perjuangan yang saya lakukan di bulan Desember - Februari yang sangat penuh itu terasa sangat hampa.
Semua perjuangan yang saya lakukan di bulan Desember - Februari yang sangat penuh itu terasa sangat hampa.
Dapat dikatakan juga...
Saya merasa kaya kurang bekerja keras dan kurang pantas untuk diterima di berbagai tempat.
Dapat dikatakan juga...
Saya merasa perjuangan mencapai itu semua harusnya lebih berat dari apa-apa yang telah saya lakukan.
Bukan berarti saya mengatakan bahwa gampang atau susah untuk mencapai semua hal di atas. Semuanya itu butuh perjuangan dan atas izin Allah tentunya.
Yang jadi masalah adalah, apakah setelah berbagai macam usaha yang saya lakukan (yang sangat tidak sebanding dengan hampir sebagian besar awardee beasiswa lainnya) itu pantas saya dapatkan?
Setelah beberapa hari berlalu pun, saya masih belum sempat 'bahagia'. Belum menemukan jawaban atas berbagai macam hal-hal yang terjadi saat itu.
Sempat mencoba diskusi di WA dengan grup KIP 2.
Saya mengutarakan yang kurang lebih berisikan begini
Mas-masnya, pernah ga sih merasa kaya, kok Allah memberikan sesuatu yang terlihat seperti nikmat yang berlebih kepada kita?Saya masih merasa belum pantas untuk menerima nikmat ini, seakan-akan tiba-tiba nikmat itu hadir begitu saja dan secara tiba-tiba. Semua hal seakan-akan terlihat dipermudah, tanpa hambatan sama sekali.Jika itupun hanya terlihat seperti nikmat namun nyatanya adalah ujian, bagaimana saya bisa membedakannya?
Kemudian... berbagai diskusi pun terjadi...
Saya pun sadar dan teringat.
Apa yang saya rasakan ini persis seperti apa yang waktu itu dituliskan oleh Mas Ataka dalam Essay nya ketika mendaftar Presidential Scholarship nya LPDP.
Ketika sudah mencapai akhir dari sebuah perjuangan dan capaian, beliau menuliskan (kurang lebih):
ternyata (setelah memenangkan olimpiade internasional itu),semua itu hampa. saya salah untuk mendefinisikan sebuah kesuksesan. semua itu tak berarti apa-apa. karena sesungguhnya, nikmat dari itu semua terletak pada proses dan perjalanannya.
Sepertinya, saya terlalu sibuk dan tenggelam dalam persiapan hingga lupa untuk menikmati sebuah proses, sebuah perjalanan.
Nampaknya, saya terlalu sibuk untuk menentukan apakah semua itu nikmat atau ujian
Nampaknya, saya terlalu sibuk untuk membanding-bandingkan usaha saya terhadap orang-orang di luar sana
Nampaknya, saya terlalu sibuk untuk mempertanyakan berbagai macam hal hingga lupa,
Lupa untuk terus bersyukur kepada Allah
Lupa untuk menyadari bahwa, mungkin perjuangan yang telah saya lakukan bagi orang lain tidaklah mudah.
Lupa untuk menyadari, bisa jadi Allah memberikan saya kesempatan untuk berada di sini untuk menguji saya
Lupa untuk menyadari, bahwa bisa jadi Allah memberikan saya kesempatan untuk beribadah di bidang ini
At the end, diskusi pun ditutup dengan wejangan dari beliau yang sempat ditulis di post ini.
Setelah berbagai macam diskusi itu pun, saya mencoba menetapkan hati, menerima keadaan, menerima kenyataan. Terima kasih sudah selalu menjadi tempat untuk kembali :)
***
(berbagai hal yang Arief lakukan selain persiapan keberangkatan akan menyusul di post ini)
0 comments